Friday, December 31, 2010

Dokter, kami minta ABORSI saja..

Titik hujan turun satu-satu. Langit gelap karena mendung menggantung. Seorang perempuan muda dengan perut membuncit berjalan perlahan dituntun laki-laki muda. Mereka menapaki pelataran conblock yang basah. Di papan nama yang tertempel di dinding samping pintu masuk terbaca : Klinik Bersalin Kasih Ibu.

Seorang dokter duduk bersandar di kursi empuk. Rambutnya telah memutih semua Ia terus menyimak cerita wanita ini. Sesekali ia mengangguk. Wajahnya menyunggingkan senyum setiap kali cerita wanita ini terhenti karena isak tangis. Pria disampingnya tenggelam di kursinya, tanpa kata. Bahkan ketika akhirnya wanita ini menoleh kepadanya, ia juga tidak bereaksi. Jangankan menggenggam tangan si wanita, ia malah memandangi gambar-gambar dibelakang dokter.

Wanita ini merundukkan kepala, menghembuskan nafas panjang, kemudian tegak kembali. Dengan berat bibirnya bergetar, "Kami minta untuk diaborsi saja, Dok."

Keheningan melayang-layang di ruangan yang dingin itu. Dokter tua itu terdiam. Matanya menatap dalam-dalam mata wanita cantik didepannya. Seakan mencari sesuatu. "Mengapa ia tak segera menjawab?" wanita ini bertanya dalam hati. Waktu seakan berhenti. Tiba-tiba terdengar suara dehem. Tahu-tahu dokter sudah berdiri di depan pintu belakang ruangan itu, "Mari ikut saya," ajaknya.

Mereka berjalan menyusuri lorong. Mereka bertemu dengan wanita-wanita yang perutnya jauh lebih buncit daripada wanita itu. Mereka berjalan tertatih-tatih sambil sebentar-sebentar memegangi perut. Kadang-kadang terdengar rintih perlahan. Anehnya, meski meringis kesakitan, mata mereka berbinar-binar. Kali lain, dilihatnya seorang laki-laki mengusap-usap punggung wanita yang menyandarkan kepalanya di dinding lorong.
Hawa dingin menerobos dari lubang angin sepanjang lorong. Sampailah mereka akhirnya di depan ruang berdinding kaca.

Dokter berhenti. Ditatapnya perempuan itu sambil berkata , "Silakan melihat-lihat, saya kembali ke ruang praktek." Tak hanya kepalanya yang memutih, baju dan celananya pun putih; bagai terang dalam lorong yang mulai gelap itu. Wanita ini melangkah ke depan, menempelkan wajahnya yang memucat di kaca.

Tampaklah sebaris tempat tidur bayi dan dua kotak kaca inkubator. Ada tiga bayi sedang terlelap di ruangan ini. Seorang tidur di barisan ranjang di depan. Dua lainnya mengisi kedua inkubator tadi.

Bayi yang tidur di ranjang, pipinya montok kemerahan. Matanya terpejam begitu damai. Tiba-tiba mulut mungilnya bergerak seperti tersenyum. Di depan ranjangnya tertempel tulisan : "Lahir 09 Desember 1997, pk 02.10. Berat 3300 gr. Panjang 52 cm. Jenis kelamin perempuan. Anak Ny. Dewi."

Kedua inkubator ditiduri bayi. Salah satu kotak bertulisan : "lahir 11 Desember 1997, pk 03.16. Berat 2100 gr. Panjang 44 cm. Jenis kelamin laki-laki. Anak Ny. Putri." Kotak satunya tertempel tulisan : "Lahir 10 Desember 1997, pk 12.30. Berat 2085 gr, Panjang 40 cm. Jenis kelamin perempuan. Anak Ny. Kali." Bayi prematur Nyonya Kali ini diinfus.

Mata perempuan muda itu membelalak. Diamatinya lekat-lekat wajah kecil bayi Ny. Kali. Bukan, bbukan kecil bukan mungil, tapi... kerdil? Bibirnya kecil sekali. Dibalik kelopak mata yang tertutup itu tampak gerakan-gerakan cepat. "Apakah tidurnya tak tenang? Mengapa ia gelisah? Apakah ia kesakitan diinfus seperti itu? Tahankah ia menyandang kepedihan ini? Bisakah ia bertahan hidup?"

Mata perempuan ini mulai nanap. Tatapannya menembusi dinding-dinding klinik. Pikirannya melayang. Dilihatnya kulit bayi-bayi prematur itu yang kisut berkeriput. Matanya kembali menatap bayi Nyonya Putri. Walau yang satu ini tidak diinfus, tampaknya ringkih sekali.

"Ringkih? Siapa bilang?" terdengar suara sayup-sayup. Perempuan ini menoleh ke kiri-kanan; tak ada siapa-siapa. Ia memejamkan mata, menenangkan diri, membiarkan suara hatinya berbicara sendiri.

"Kelihatannya saja ringkih, padahal aku bakal sekuat Kak Ade Rai," suara kecil itu kembali terdengar. Rupanya bayi Nyonya Putri yang bersuara. "Badanku nanti kekar berotot. Aku bisa menggendong mama di pundak kiriku. Eh, tapi aku juga mau seperti Kak Ricky Subagya, tangkas dan gesit menyambar shuttlecock. Waktu Sea Games kemarin, mamaku paling suka melihat keduanya di TV. Mama sampai teriak-teriak, lho. Aku suka kalau Mama lagi tertawa senang seperti itu, aku jadi ikut terguncang, seperti diayun-ayun rasanya."

"Kalau papaku, suka nonton bola," bayi Nyonya Dewi yang berada di ranjang depan menimpali. "Nontonnya di televisi, sambil mengelus-elus perut mamaku. Soalnya, aku suka ikut-ikutan menendang perut mama."

Bayi Nyonya Putri di inkubator seperti diingatkan kepada ibunya. "Kapan, ya, bisa main lagi sama mama? Aku kesepian nih. Aku ingin bertemu Mama lagi. Kemarin dia terpaksa cepat-cepat pulang. Katanya kalau terlalu lama disini, nanti Papa tidak punya cukup uang untuk membayar klinik. Mamaku memang baik. Dia selalu berusaha membantu Papa. Dia tetap mengajar walaupun dianjurkan beristirahat oleh dokter. Bayangkan, tiap hari musti berdiri berjam-jam. Maklum, kan guru TK. Ia sering mengeluh capai kalau lagi berdua aku. Tapi didepan Papa ia selalu tersenyum-senyum. Akibatnya, ya begini ini, aku lahir sebelum waktunya. Dokter bilang, Mama kelelahan."

"Kalau aku, aku malah suka membuat Mama kelaparan," lanjut bayi Nyonya Dewi. "Tiap kali mama minum susu, pasti langsung kuhabiskan. Mama makan sup jamur, juga kusedot habis. Jadinya Mama lapar, makan lagi, kuhabiskan lagi."
"Wah, makanya kamu gendut," ledek bayi Nyonya Putri.

Lalu lanjutnya lirih, seperti mengenang sesuatu yang manis sekali, "Setiap Sabtu pagi Mama mengajak muridnya jalan-jalan disekitar sekolah. Aku ikut menikmati acara jalan-jalan dalam perut Mama. Asyik lho. Suara Mama yang sabar terdengar sayup-sayup. Aku seperti dinyanyikan."

"Kamu kangen, ya, sama mamamu. Aku juga," ujar bayi Nyonya Dewi. "Mamaku senyumnya manis sekali. Tiap pagi Mama selalu berkebun, setelah mengantarkan Papa berangkat ke kantor. Dulu ketika aku masih di perut Mama, Mama selalu berkebun sambil ersenandung. Nanti kalau aku sudah besar, aku ingin membantunya menyiram bunga. Pasti senang sekali. Aduh, kangen sekali. Untung aku besok pulang. Asyik, bisa bertemu Mama terus."

"Enak ya, kamu," ujar bayi Nyonya Putri. "Aku sih masih lama disini. Tapi nggak apa-apa, ah. Supaya aku kuat dulu. Lagi pula, tiap hati Mama datang menengok. Aku dielus-elusnya lewat lubang ini. Eh, ibunya teman kita hari ini kok tidak datang, ya?"

"Iya, ya... Pasti dia kangen sekali," kata bayi Nyonya Dewi. "Aku lihat tadi kepalanya bergerak-gerak seperti mencari ibunya."

"Eh, kamu tahu nggak kenapa teman kita membisu terus?" cetus bayi Nyonya Putri.

"Waktu kamu belum datang, aku dengar dokter bilang, ibunya minum obat waktu teman kita baru berumur enam minggu dalam kandungan. Waktu itu, teman kita ini sudah punya kepala. Terus, sewaktu jantungnya sudah mulai berdetak-detak, kalau nggak salah umurnya tujuh minggu, ibunya minum jamu. Nah, karena obat dan jamu itulah dia jadi tak bisa bicara. Dia tidak menangis waktu dilahirkan," ujar bayi Nyonya Dewi.

"Seandainya dia bisa bicara, apa ya, yang akan dikatakannya? Pasti dia akan bilang, dia juga kangen pada ibunya."

"Iya ya, setiap anak selalu kangen pada ibunya."

Bayi Nyonya Putri menghela nafas. "Sayang ya, dia tidak bisa bicara. Padahal aku ingin juga mendengar cerita-ceritanya. Pasti dia punya banyak pengalaman lucu bersama ibunya. Aku juga kasihan pada ibunya. Pasti ibunya sakit-sakitan sampai sering minum obat dan jamu begitu. Tapi aku yakin, kalau sudah besar nanti, teman kita pasti sayang kepada ibunya. Kalau ibunya letih, dipijit-pijitnya kaki ibunya."

"Siapa bilang ibunya sakit-sakitan?" potong bayi Nyonya Dewi. "Dia sehat-sehat saja!"

"Kok minum jamu dan obat??"

"Soalnya si ibu tidak ingin teman kita ini lahir. Dia ingin membunuh anaknya sendiri!"

Hujan menderas. Guruh menggelegar. Perempuan muda didepan kaca tersentak dari lamunannya. Ia lalu bergegas menuju ruang praktek dokter.
"Dokter, saya tidak jadi aborsi!"

No comments:

Post a Comment